Label

Jumat, 14 Februari 2014

Revitalisasi peran pemuda

DEGRADASI peran pemuda kini kian santer dikonstruksi secara sistemik oleh banyak pihak. Sempat mencuat slogan “saatnya yang muda yang memimpin” sebagai antitesa perilaku pemimpin tua yang cenderung korup dan lamban meraih cita-cita kemerdekaan. Celakanya, slogan ini pupus seiring kasus korupsi yang menjerat elite-elite muda negeri ini. Setelah Gayus Tambunan, Nazzaruddin, dan Angelina Sondakh, belakangan Andi Malaranggeng juga ditahan KPK.


Romantisme sejarah kaum muda selama ini cerah. Kini justru diselimuti awan hitam perilaku menyimpang kaum mudanya. Di tataran elite yang didominasi kalangan pemuda, justru mempertontonkan hujat menghujat antarsesama dibanding menelurkan gagasan. Padahal, banyak dari mereka adalah mahasiswa yang dulu santer meneriakkan reformasi dan perjuangan kesejahteraan rakyat.

Sementara, di aras bawah tawuran dan saling bunuh antarpelajar mencuat. Belum lagi kenakalan remaja, kasus narkoba, dan pornografi juga merebak di kalangan pemuda. Berbagai aksi demonstrasi mahasiswa—yang dilekatkan gelar agent of chance—justru menuai kritik. Demonstrasi kini dipandang “merusak” dan mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat. Kini santer muncul istilah “aktivis bodrek” yang merelakan idealismenya demi kepentingan pribadinya di masa depan. Merekalah aktivis yang tidak malu menjual organisasi, menebar proposal dana, dan menyediakan massa bayaran. Lantas, apakah kini pemuda sedang terjun ke titik nadir? Masihkah ada harapan di tengah citra pemuda yang semakin akut?

Konstruksi Media
 
Harus kita akui, media juga kerap kali hanya mengekspos aksi vandalis dibanding gagasan-gagasan yang ditelurkan pemuda. Padahal, media idealnya mampu menelusuri hingga diskusi-diskusi panjang yang dilakukan sebelum turun aksi. Kalangan pemuda yang melakukan pencerdasan rakyat juga pupus dari perhatian media. Barangkali tidak berlebihan mencuat kecurigaan adanya skenario besar yang sengaja meredam peran pemuda.

Prinsip tidak tertulis “bad news is a good news” mendominasi media masa kini. Begitu juga sisi negatif pemuda yang marak diberitakan dibanding prestasi yang pernah digapai. Di satu sisi, memaparkan penyimpangan pemuda prinsipnya mengundang perhatian dan pencarian solusi oleh pemerintah. Namun, alih-alih mencari solusi, pemuda justru dibuat semakin apatis dan jatuh dalam titik nadir ketidakpercayaan diri. Padahal kaum muda ibarat investasi bangsa yang akan melanjutkan arah perjuangan bangsa ini.

Media juga gagal menyosialisasikan semangat perjuangan dan nasionalisme. Rasa cinta akan bangsa perlahan-lahan luntur. Kini merebak pengagungan akan budaya bangsa lain. Masa keterbukaan informasi tanpa disadari melanggengkan imperialisme budaya. Kepribadian bangsa diserbu. Ini sekaligus menjadikan kita lupa akan esensi ke-Indonesia-an. Alih-alih berkepribadian dalam budaya—bila ditanyakan orang-per-orang— sangat jarang generasi masa kini yang mengenal budayanya sendiri.

Pop culture kini menjadi epidemi di kalangan pemuda.  Imbasnya pemuda mulai asyik dengan dirinya sendiri. Di sisi lain, cengkraman budaya kian memperlebar peluang pemuda menjadi sasaran produk asing. Pemuda juga sukses dininabobokan akan realitas bangsa yang sesungguhnya sedang terpuruk. Alhasil, tidak ada lagi kepedulian. Semuanya memilih diam melihat realitas indeks Gini yang mencapai 0,41 persen. Dan masalah sosial, budaya, dan politik yang semakin karut marut. Tidak aneh di tengah realitas ini korupsi justru merajalela. Semuanya didorong semangat individualisme dan konsumerisme yang sudah akut menggerogoti benak kita.

Revitalisasi Peran Pemuda

Sumpah Pemuda idealnya diingat sebagai panggilan bagi kalangan pemuda untuk mengembalikan Indonesia pada relnya. Tidak sekedar  mengenang romantisme sejarah, melainkan mengambil peran bagi kemajuan negeri. Menjadi lingkage actor yang menyampaikan aspirasi rakyat pada pemerintah.

Pemuda kini harus mampu mempertahankan perjuangannya di tengah media yang lebih senang memberitakan kebobrokan negeri ini. Tugas kita untuk tetap melakukan pencerdasan bangsa hingga ke sudut negeri. Mendiskusikan persoalan bangsa dan meramu gagasan untuk kemajuan bangsa. Konsisten mengawal jalannya pemerintahan, meski distigmakan sebagai perusak. Berkorban demi menolak penindasan. Dan, tetap berprestasi di berbagai bidang. Hal penting lainnya adalah menunaikan idealisme sampai akhir bahkan tatkala menduduki kekuasaan.

Bila kini pemuda cenderung menuai stigma negatif, mari kita katakan bahwa semarak apapun upaya degradasi peran pemuda tidak akan pernah berhasil. Pemuda tidak akan menyerah pada keadaan. Merdeka!
sumber.kampus.okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar